JANGAN MATIKAN TV !

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengatakan kritik, aduan dan aspirasi masyarakat terhadap penyiaran menunjukkan kecenderungan meningkat hingga akhir 2010 . Bisa jadi karena adanya materi program TV yang meniupkan angin tak sehat bagi anak-anak khususnya. Lewat situs KPI saya menemukan beberapa layang teguran dan peringatan antara lain adanya wawancara terhadap supporter sepakbola yang meluncurkan ucapan mengandung kata-kata kasar bercampur  makian. Ada juga film keluarga yang menayangkan adegan ciuman. Oh my God!

Anak adalah kelompok pemirsa paling rentan terhadap dampak negatif televisi. Tentu saja karena mereka belum terbekali oleh daya kritis. Seorang ibu rumah tangga mengeluh lantaran anaknya tak mau belajar. Dari sebuah iklan, anaknya menangkap bahwa dengan minum vitamin yang ditawarkan dia bisa menjadi anak pintar. Jadi ngapain capek-capek belajar, protesnya. Sang anak menelan pil pahit kotak televisi, tanpa membaca aturan pemakaian. Tak ada pendampingan dan bimbingan padanya. Inilah satu di antara banyak pengaruh negatif acara televisi, sementara dampak lain seperti anak menjadi antisosial hingga risiko merenggangkan hubungan personal dalam keluarga, juga akan menjadi racun manis yang terhidang di ruang TV. Dalam seminar yang baru saja saya ikuti, di-preview-kan sebuah iklan layanan masyarakat yang sangat menarik. Kamera statis hanya merekam suasana ruang santai. Tampak teve tidak menyala tetapi dari refleksi layarnya terlihat adik beradik sedang bermain kejar-kejaran. Dalam versi yang lain, layar teve tersebut merefleksikan gurau canda mama-papa-buah hati. Saya tak teringat siapa kreator ILM tersebut, tetapi sungguh cerdas untuk mengatakan bahwa jiwa jadi hidup kalau TV kita mati.

Kekhawatiran yang memang pantas dimunculkan berkaitan dengan penetrasi program TV yang teramat banyak muatan. Apalagi penggagasannya tidak melalui proses psychological talk, timbangan-timbangan berdasar dampak positif-negatif. Para kreator program hanya berpijak pada konsep bisnis produce what you can sell. Maka terjadilah program copy-paste, me too product yang tak lagi mengindahkan orisinalitas. Bondho nekad mempertaruhkan personality. Toh seorang kawan baik menganggapnya bukan sebagai masalah serius lantaran ada remote yang bisa membolak-balikan layar demi keamanan. Tetapi bisakah dipahami ketika kita menyaksikan sebuah program Primitive Runaway misalnya , komodifikasi FTV yang memporakporandakan etika budaya, kita akan merasa aman hanya dengan sebuah remote sementara betapa kita tak sadar isi program tersebut terasa halus tetapi langsung menikam, merobek-robek kesakralan sebuah budaya. Anak-anak kita bisa jadi ikut terkekeh-kekeh menyaksikan ulah sang artis yang merasa aneh dengan adat istiadat setempat sehingga tampak lucu, sementara alam bawah sadar anak-anak menangkap hal itu sebagai sebuah kelaziman. Remote TV bukanlah satu solusi. Maka marilah kita kembali kepada itikhad baik untuk bersama-sama menyelamatkan peradaban yang sesungguhnya. Menjauhkan pemirsa TV dari wilayah abu-abu karena baik dan buruk teramat tegas garis pemisahnya. Ubah paradigma di atas menjadi sell what you can produce. Apalagi di tahun 2011 televisi diperkirakan masih akan menduduki posisi teratas sebagai media pilihan. Artinya kehadiran TV di rumah tetaplah menjadi satu keniscayaan. Upaya penolakan tak mungkin menang telak. TV tetap hadir di tengah-tengah masyarakat yang berarti harus ada sikap tegas terhadap konten program. Dari kreator program, dari pemilik TV, dari pemerintah dan dari pemirsa barangkali.

Seorang kawan baik merumuskan bahwa Televisi Indonesia itu dikuasai oleh 2 kelompok. Pertama, mereka pengumpul kapital sehingga orientasinya adalah share, rating dan revenue. Kedua, adalah kelompok pencari kekuasaaan yang menjadikan media sebagai mesin politik. Tetapi toh kendali ada di tangan pemirsa. Yang tendensius pada kepentingan kapital ataupun peraihan kekuasaan tentu secara alamiah akan ditinggal pemirsa karena yang dibutuhkan adalah hiburan semata. Pemirsalah yang memegang kunci format ideal tontonan layar gelas berdasar selera mereka.

Tahun 2010 mencatat program pemberitaan sangat mendapat perhatian khusus. Betapa banyak realitas sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan yang ingin sekali diketahui dan dipahami oleh pemirsa. Kasus markus, bencana alam, bangkitnya nasionalisme lewat sepakbola, konflik memanasnya hubungan Indonesia dengan negeri jiran sekedar untuk disebut sebagai peristiwa momental yang memancing pemirsa TV untuk terus mengikuti berbagai berita aktual, tajam, terpercaya dari program pemberitaan yang pertama mengabarkan dan tetap terbaik. Maka yang kita temui adalah kecenderungan perubahan perilaku sebagian pemirsa yang bermigrasi dari sekedar tontonan hiperrealita ala sinetron menuju tontonan yang memiliki news value. Syukur-syukur ini menjadi titik nadir menuju kebangkitan pemirsa cerdas televisi Indonesia.

Pun juga pada program sport terkhusus sepak bola sungguh-sungguh teramat fenomenal dengan perolehan share hingga 82,5% berdasar riset The Nielsen Company Indonesia. Final Piala AFF 2010 telah disaksikan oleh pemirsa di semua kelas ekonomi mulai usia 5 tahun. Barangkali inilah puncak prestasi program yang belum ada tandingannya sepanjang sejarah. Hal ini didukung faktor sosial kultural dimana tak banyak kebanggaan berbangsa yang bisa ditonjolkan satu dekade terakhir ini. Dulu, betapa kita bangganya dengan Rudy Hartono, Liem Swie King, Susi Susanto, Yayuk Basuki, Ellyas Pical. Meski terakhir tersisa pahlawan ring tinju Chris John. Di tengah karut marut berbagai persoalan bangsa yang menyobek nurani kita, Timnas rupanya mendekatkan rakyat ( baca: pemirsa) pada suatu mimpi yang diangankan selama ini. Maka sorot mata berjuta pemirsa tak ingin terlepas dari perjuangan timnas, bahkan mendukungnya seratus persen. Kebanggaan pada Timnas mengakumulasi seluas langit Indonesia raya dan sorot mata mereka tergiring menyatu pada layar gelas yang menayangkan pertandingan Timnas. Maka 82,5% tadi adalah keniscayaan yang tak terelakkan. Good job!

Program musik di televisi pada tahun 2010 tampaknya juga menjadi salah satu pilihan pemirsa. Konser Musik bertajuk Harmoni yang ditayangkan setiap sebulan sekali tampaknya berhasil mencuri perhatian pemirsa. Banyak blog yang mengkritisinya, bahkan di jejaring Twitter selalu menjadi Trending Topic bersamaan dengan penayangannya. Oleh para insan musik, program Harmoni dianggap sebagai satu penghargaan bagi eksistensi mereka dan disisi lain penonton menikmatinya sebagai hiburan berkelas yang langka. Ketika muncul issue program Harmoni bakal dihentikan, betapa banyak pemirsa yang merasa kehilangan dan menyayangkan, termasuk para insan musik. Hilangnya program Harmoni seolah-olah pertanda surutnya apresiasi terhadap program yang memiliki nilai edukasi. Bukankah Harmoni tengah mensosialisasikan sebuah karya musikalitas bermutu ditengah gempuran selera pasar yang standar. Bersyukur, di tahun 2011 program Harmoni tetap akan hadir. Program musik Harmoni menjadi breakthrough di tengah-tengah maraknya musik chart yang lebih di dominasi band masa kini bernuansa pop.

Program yang dikreasikan untuk anak juga teramat banyak yang bagus hingga saat ini. Ada Buku Harian si Unyil, Dunia Air, Si Bolang untuk sekedar menyebut beberapa program yang sangat edukatif. Dengan pendekatan yang menarik program-program semi dokumenter itu berusaha mendekatkan anak pada alam dan budaya. Barangkali tak cuma anak-anak, bagi orang dewasa pun program tersebut sangat informatif. Bagaimana cara membuat tempe hingga sosis semuanya dihadirkan dari proses awal hingga siap santap. Kita jadi serba tahu dalam banyak hal. Tak perlu lagi mencari pustaka, cukup dengan menikmati sebuah tontonan yang dibumbui kisah lucu anak-anak. Seru juga loh!

Maka sesungguhnya pantaslah kita waspada terhadap pengaruh negatif televisi, tetapi tentu tidak membabi buta seperti itu. Masih ada program-program tertentu yang bernilai edukatif yang memberi pesan dan informasi bermanfaat bagi pemirsa televisi seperti yang disebut tadi. Termasuk program talkshow Kick’s Andy, Just Alvin hingga Mata Najwa yang sungguh-sungguh menghadirkan perbincangan ringan tetapi sangat inspiratif. Ada program Minta Tolong, Bedah Rumah dan Andai Aku Menjadi yang kental sekali nuansa human interest-nya. Program-program ini sesungguhnya turut memperkuat Brand Credibility masing-masing station yang menayangkan. Tentu buat tim sales dan marketing-nya tak akan susah untuk menjual program menarik semacam ini. Don’t sell. Let them Watch! Barangkali kondisinya akan seperti ini. Maka para orang tua pun tak akan khawatir terhadap anak-anaknya, bahkan akan memberikan peringatan manis: Jangan matikan TV!

Leave a comment